LEGENDA SITU SANGHYANG, TEMPAT PERNIKAHAN PARA RAJA

Ketua kompepar, Mumung Suryaman ( berkaca mata) dan Maslikan ( kanan)
TASIKNEWS-Pemberian nama pada sebuah daerah atau tempat  sejarah tak lepas dari sebuah peristiwa atau kejadian pada masa itu. Perjalanan kejadian dan para pelaku sejarah itu sendiri menyimpannya dalam bingkai cerita atau sebuah legenda, dimana di dalamanya ada sebuah hikmah untuk dijadikan contoh di masa sekarang. Semisal, obyek wisata Situ Sanghyang yang berlokasi di dua desa, Desa Cibalanarik dan Cilolohan Kecamatan Tanjungjaya, yang merupakan kebanggaan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, karena danau tersebut menawarkan panorama yang eksotis dan romantis berbalut cerita mistik.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat, konon di danau tersebut tersiar kabar adanya fenomena yang dikaitkan dengan dunia mistik, sering terlihat berpindahnya rimbunan pohon kiray yang maju dengan sendirinya ke tengah danau, tentunya fenomena ini dijadikan warga sebagai totonden ( pertanda) bakal adanya sebuah kejadian.

Legendanya Situ Sanghyang versi masyarakat setempat yang diadopsi Dinas Pariwisata, seperti yang dikisahkan anggota Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar), Maslikan (46), sebelum terjadinya nama situ didahului dengan muncul nama sanghyang, karena menurut sejarah situ yang asli ada di Kampung Parunggolong Desa Cilolohan, berupa leuwi (sungai) bernama leuwi Sanghyang.

Dikisahkan juga, konon pada masa Kerajaan Sukakerta Parunggolong merupakan tempat sakral karena pada masa itu di daerah tersebut dijadikan sering dijadikan tempat digelarnya pesta pernikahan para raja. Situ Sanghyang sendiri merupakan gabungan dua tempat bersejarah antara situ yang berada di Kampung Parunggolong dan Sanghyang di Obyek wisata. Sementara nama sanghyang itu sendiri terjadi dari sebuah peristiwa sejarah yakni riuhnya suara yang saling bersahutan.

Konon, dulu ada seorang pangeran menculik seorang wanita cantik jelita, isteri  seorang resi dari Kebataraan Galunggung. Saat sang resi pulang dari laku tirakat, tapa bratanya, isterinya sudah dibawa kabur sang pangeran. Sang resi pun kemudian mencarinya hingga ke sebuah daerah yang dikenal dengan nama Saung Gantang. Ditempat itu ternyata tengah berlangsung pesta besar-besaran selama 7 hari 7 malam, yang ternyata isterinya sendiri yang menjadi mempelai wanitanya.

Saat itu berulang kali sang resi pun berteriak namun tidak ada yang menanggapinya dikarenakan riuhnya suara pesta, sehingga resi pun menjelma menjadi Budak Buncir (bocah gendut),  kemudian memanggil segerombolan anjing untuk mengacaukan pesta tersebut. Suara gonggongan anjing diluar pun kemudian beradu dengan suara riuhnya pesta, hingga lama kelamaan suaranya seperti ngahiang (berdengung)

"Jadi nama sanghyang itu tercipta dari riuhnya dua suara yang beradu, dan nama sang sendiri merupakan mrnunjukan pada sang pelaku, sang resi dan sang pangeran", papar Maslikan.(13/7)

Adapun terjadinya situ, lanjut Maslikan, saat itu dikarenakan sang pangeran merasa terganggu dengan suara-suara di luar dan merasa terpancing dengan tantangan si buncir.

Diceritakan, sang resi bersumpah akan berguru jika seandainya sang pangeran dan para punggawanya bisa mencabut 7 batang lidi yang berjejer. Tapi karena tidak ada yang sanggup mencabut lidi, dengan kesaktiannya sang resi pun mencabut lidi-lidi, anehnya dari lubang batang lidi yang di cabut keluar air yang tidak terbendung hingga membentuk sebuah situ  (danau). Saat itu Resi pun langsung mengeluarkan kutukan, semua yang ikut bersama pangeran tenggelam dan menjelma menjadi ikan. Sejak itulah di lokasi situ menjadi angker, seperti burung yang melintas di danau dan yang meminum air tiba-tiba hilang tak berbekas hingga warga pun enggan untuk memanfaatkan air dari situ sanghiyang.

Saat itu keangkeran Situ Sanghyang rupanya terdengar hingga ke Kesultanan Cirebon, sehingga  mengutus Prabu Linggawastu ditemani Lokananta dan Lokananti untuk menetralisir air situ tersebut untuk dipergunakan keperluan warga. Prabu Linggawastu merupakan keturunan Mataram anak dari Raden Kamandaka, salah satu saudara Prabu Linggawastu, Mundingwangi yang bergelar Prabu Siliwangi. Prabu Linggawastu dimakamkan di seputar Situ Sanghyang bersama Lokananta dan Lokananti.

Di balik legenda Situ Sanghyang ternyata sejarah tersebut berkaitan dengan Kepemerintahan Kabupatian Sukapura yang pada waktu itu dipegang Raden Aggadipa (Dalem Sawidak), dan  sejarah munculnya nama sawidak sendiri beragam versi. Pengertian nama Sawidak di kalangan warga Sukapura diartikan keturunan yang berjumlah 60 Orang.

sementara versi kontempelasi (kontak batin) dari ahli spiritual, Maslikan, yang juga keturunan Kasultanan Demak generasi ke- 16 menceritakan,  jauh sebelum terbentuknya situ, di daerah Saung Gantang konon masih berbentuk hutan belantara, dulu ada seorang raja sakti mandraguna ( tidak ditemukan jejak dari kerajaan mana) ingin menguasai seluruh kerajaan tatar sunda dan menantang seluruh raja dan kesatrianya.

Kabar tersebut terdengar oleh Bupati Sukapura, Raden Anggadipa, yang kemudian mengumpulkan para ksatria berilmu tinggi sebanyak 60 orang. Para ksatria tersebut diperintahkan untuk mengepungnya diberbagai tempat agar raja yang sombong tersebut tidak bisa melarikan diri. Tapi rencana tersebut terdengar sang Resi dari Kebataraaan Galunggung. Dan untuk mengantisipasi pertumpahan darah, sang resi pun menantang raja sombong tersebut  untuk mencabut sebatang lidi yang tertancap ditanah. Dan saat lidi dicabut dari lubang bekas lidi yang dicabut sang Resi, keluarlah air yang tidak bisa dibendung yang akhirnya raja tersebut tenggelam dan menjelma menjadi seekor ikan yang diberi nama Silayung.**** ( Rusdianto PNews )

Related

TASIK NEWS 5883955208380079562

Posting Komentar

  1. Ceritanya hampir sama yg di ceritakan buyut saya ,yg seorang menak sukapura turunan dalem bogor .

    BalasHapus

emo-but-icon

item