ASAL MUASAL HIASAN JANUR KUNING PADA ACARA HAJATAN

Situs budaya religi Raden Angga Wacana merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di wilayah Sukapura, tepatnya di Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran pada masa pergeseran Hindu-Budha ke Islam.

Tidak banyak masyarakat yang mengetahui sejarah tersebut, karena tidak ditulis dalam buku kurikulum atau dalam  muatan lokal di sekolah-sekolah. Sejarah tersebut hanya dituangkan dalam sebuah buku Babad Cijulang yang merupakan buku kumpulan sejarah dan sebagai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) nya para karuhun masyarakat Cijulang.

Dalam buku Babad Cijulang, konon, dikisahkan nama Raden Angga Wacana yang pada waktu kecil bernama Naga Wacana, seiring dengan usianya menginjak dewasa juga dengan bekal ilmu agama semakin fasih, akhirnya oleh santri-santrinya ia dijuluki Raden Angga Wacana.

Salah seorang tokoh asal Cijulang Abah Kundil menuturkan, suatu hari Raden Angga Wacana mendapat kabar bahwa Kerajaan Cirebon mengadakan sayembara untuk para jawara se-Nusa Jawa. Dalam sayembara tersebut, dikisahkan, pemenang sayembara oleh Raja Cirebon akan diuji harus bisa meratakan Gunung Hata. Rencana Raja Cirebon meratakan gunung Hata tersebut  bertujuan untuk mendirikan sebuah mesjid agar penyebaran agama Islam di Kerajaan Cirebon pun bisa maksimal dan tersebar luas.

“Siapa saja yang berhasil meratakan gunung hata akan diberi hadiah salah seorang putri Raja Cirebon untuk dinikahi. “cerita Bah Kundil.

Dikisahkan juga, Raden Angga Wacana pun akhirnya berpamitan pada istrinya karena berniat hendak mengikuti sayembara tersebut. Setelah mendapat restu isterinya, Raden Angga Wacana pun berangkat dengan hanya dibekali satu bungkus nasi untuk bekal dalam perjalanannya.

“Setelah sampai dilokasi arena sayembara  Raden Angga Wacana tidak langsung masuk arena, tapi ia merangkai sisa serpihan kayu tatal untuk dijadikan fondasi dan rangka bangunan mesjid diluar arena sayembara,” tutur Abah Kundil.

Dengan ilmu dan kedigjayaan yang dimilikinya, akhirnya Raden Angga Wacana pun berhasil membuat fondasi dan rangka bangunan mesjid hanya dalam hitungan jam saja. Dan setelah rangka dan fondasi selesai dibuat, Raden Angga Wacana pun mulai meratakan Gunung Hata serta mulai meletakan rangka dengan fondasi mesjid yang sebelumnya dibuat .

“Ketika melihat kemampun yang dimiliki Raden Angga Wacana meratakan gunung Hata serta meletakan fondasi dan rangka mesjid dalam waktu singkat, Raja Cirebon pun kaget dan memberhentikan pertarungan yang diikuti para jawara tersebut,” lanjut Bah Kundil.

Melihat kesaktian Raden Angga Wacana yang sudah berhasil meratakan Gunung Hata serta membuat fondasi mesjid, akhirnya raja pun mengakui kesaktian serta keunggulan yang dimiliki  Raden Angga Wacana. Tapi karena seluruh peserta semua merasa paling unggul dan berhak mendapatkan hadiah putri raja, di tengah kebingunannya raja pun mengambil inisiatif untuk membuat burung dari janur kuning. Dan setelah jadi, burung dari janur kuning tersebut lalu diterbangkan hingga hinggap pada Raden Angga Wacana, akhirnya raja pun memutuska jika pemenangnya adalah Raden Angga Wacana.

“Raja Cirebon pun berkata, Raden Angga Wacana karena engkau berhasil meratakan gunung Hata dan telah menyiapkan rangka bangunan mesjid beserta pondasinya, maka engkau ber hak untuk menikahi putri kami,” Ujar Bah Kundil.

Tetapi dikarenakan Raden Angga Wacana telah mempunyai isteri, secara halus ia pun menolak untuk menikah dengan  putri Raja Cirebon dan memilih langsung pulang ke Sukapura. Tetapi karena Raja Cirebon merasa penasaran, akhirnya ia pun mengutus prajurit untuk menyusul Raden Angga Wacana dan tetap harus dinikahkan dengan putrinya.

Singkat cerita, setelah prajurit Kerajaan Cirebon berhasil menemukan Raden Angga Wacana, kemudian membujuk agar Raden Angga Wacana kembali ke Cirebon untuk menikah dengan  putri Raja, tapi Raden Angga Wacana tetap bersikeras tidak mau menikahinya hingga terjadilah perkelahian.

Dalam perkelahian tersebut, diceritakan seluruh prajurit Kerajaan Cirebon kalah. Dengan kesaktian yang dilmiliki Raden Angga Wacana, seluruh prajurit berubah menjadi patung  pada posisinya masing-masing dan hanya menyisakan satu orang yang tidak bisa dikalahkan, Kakak laki-laki putri Raja bernama Sembah Langkung.

“Dengan tutur kata lembah lembut, Sembah Langkung akhirnya berhasil membujuk Raden Angga Wacana agar mau menikahi adiknya. “lanut Bah Kundil.

Raden Angga Wacana bersedia menikahi putri raja Cirebon dengan satu syarat, sebagai simbol ia ingin pernikahannya dihias janur kuning.

Setelah Sembah Langkung berhasil menikahkan adiknya dengan Raden Angga Wacana, akhirnya seluruh peralatan yang dibawa prajurit Kerajaan Cirebon dikumpulkan dan disimpan di sebuah tempat yang kemudian tempat tersebut menjadi batu.

“Hingga saat ini, hiasan janur kuning menjadi budaya dan tradisi dalam setiap hajatan terutama hajatan pernikahan,” pungkas Abah Kundil. (AGE)

Related

budaya 8164070458585146037

Posting Komentar

emo-but-icon

item